Dalam sebuah kesempatan ada sahabat penulis curhat
tentang rumahtangganya. Ia yang sudah menikah satu setengah tahun dan sampai
saat ini belum juga memperoleh keturunan. Ragam ikhtiar sudah ia lakukan dari
medis (operasi laparoscopy dan inseminasi) hingga spiritual (shalat, tahajud,
dan mengaji) namun belum ada tanda-tanda kehamilan. Dalam kegundahannya ia pun bertanya, apa lagi
yang harus dilakukan?.
Sahabat muslimah yang penulis cintai karena Allah, harus
kita akui memang, sesuai dengan fitrah manusia, Allah Swt. mengaruniakan hasrat
menyukai anak-anak. Wajar bila psangan yang telah menikah ingin memiliki status
sebagai ibu dan ayah. Sang istri ingin merasakan pengalaman tumbuh janin di
rahimnya, proses kehamilan, melahirkan, menyusui, dan menimang bayi. Pendeknya,
mendambakan rumah tangga yang diramaikan oleh tingkah bocah yang lucu, riang,
polos, dan menggemaskan.
“Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami
anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang
hati (kami) dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.’”
(Q.S. Al-Furqaan [25]: 74)
Namun, coba simak firman-Nya yang menerangkan bahwa satu
sisi manusia dihiasi hasrat menyukai dan mencintai anak-anak, tetapi kecintaan
itu hendaknya jangan membutakan hati, membutakan iman, harus pandai mengontrol
diri bahwa hasrat tersebut tetap saja sebatas salah satu bentuk kesenangan
hidup dengan standar dunia,
“Dijadikan indah dalam pandangan manusia cinta terhadap
apa yang diinginkan berupa perempuan (lawan jenis), anak-anak, harta benda yang
bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali
yang baik.” (Q.S. Ali Imran 3 : 14).
Selanjutnya mesti diingat masih ada kesenangan yang lebih
baik bagi orang-orang yang bertakwa, “Katakanlah, ‘Maukah Aku kabarkan kepadamu
apa yang lebih baik dari yang demikian itu? Bagi orang-orang yang bertakwa
(tersedia) di sisi Tuhan mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan pasangan-pasangan yang suci, serta
ridha Allah. Dan Allah Maha Melihat hamba-hambaNya.” (Q.S. Ali Imran [3]: 15)
Belum dikaruniai anak jangan sampai melemahkan target
sesungguhnya dalam meraih ketakwaan. Perbanyaklah amal saleh dan bersabarlah,
betapa luas bidang garapan yang harus dikerjakan, firman-Nya,
“Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah
kepada Tuhan-Mu’, bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan
memperoleh kebaikan dan bumi Allah itu luas.’ Hanya orang-orang yang
bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (Q.S. Az-Zumar [39]: 10)
Wajar jika kesedihan melanda ketika ada hal yang luput
dari keinginan, tetapi berusahalah lakukan hal lain yang positif, janganlah
terlalu larut dalam kesedihan. Harus juga diingat sesungguhnya anak merupakan
salah satu bentuk (ujian) bagi orangtua. Ada dua kemungkinan: orangtua selamat
atau sebaliknya, celaka ketika dihisab mempertanggungjawabkan kewjibannya,
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan
(bagimu) dan di sisi Allah pahala yang besar. Maka bertakwalah kamu kepada
Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatilah dan infakkanlah harta
yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa dijaga dirinya dari kekikiran mereka
itulah orang-orang yang beruntung. Jika kamu meminjamkan kepada Allah dengan
pinjaman yang baik, niscaya Dia melipatgandakan (balasan) untukmu dan mengampuni
kamu. Dan Allah Maha Mensyukuri, Maha Penyantun.” (Q.S. At-Tagabun [64]:
15-17); “Dan ketahuilah bahwa harta dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan
dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.” (Q.S. Al-Anfal [8]: 28)
Jangan berburuk sangka. Boleh jadi rumah tangga yang
belum dikaruniai anak merupakan salah satu wujud kasih sayang Allah Swt. Dia
hendak menghindarkan kita dari ujian. Namun, bisa jadi hanya persoaan waktu
saja sebelum amanah itu diletakkan ke dalam genggaman.
Sekali lagi, bersabarlah dalam penantian. Maksimalkanlah
usaha doa, usaha medis, usaha komunikasi dengan pasangan, bertawasul dengan
amal saleh, dan bertawakal kepada Allah Swt. seperti halnya Nabi Ibrahim a.s.
dan istrinya,
“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan
kepadaku di hari tua (-ku) Ismail dan Ishak. Sunggguh, Tuhanku benar-benar Maha
Mendengar (memperkenankan) doa. ‘Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku
orang-orang yang tetap melaksanakan shalat, ya Tuhan kami perkenankanlah doaku.
Ya Tuhan kami ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan semua orang yang beriman
pada hari diadakan perhitungan (hari kiamat).’” (Q.S. Ibrahim [14]: 39-41)
Rendahkan diri kita di hadapan Allah Swt. yang Maha
Mengetahui. Yakini bahwa semua yang tengah dijalani adalah yang terbaik menurut
ilmu-Nya. Berbaiksangkalah selalu kepada-Nya bahwa semua yang terjadi
mengandung unsur kebaikan.
Terakhir, ingatlah segala keinginan, kecintaan, kesukaan
manusia di dunia ini kecil, bukanlah segala-galanya.
“Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan.
Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya
mereka mengetahui.“ (Q.S. Ar-Rum [30]: 64)
Bahkan, meskipun orangtua dengan anak memiliki pertalian
nasab (keturunan), tetapi di akhirat mereka hanya bisa selamat dengan bekal
ketakwaan masing-masing,
“Wahai manusia bertakwalah kepada Tuhan-Mu dan takutlah
pada hari yang (ketika itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan
seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun. Sungguh janji
Allah pasti benar, maka janganlah sekali-kali kamu teperdaya oleh kehidupan
dunia…” (Q.S. Lukman [31]: 33).
Wallahu a‘lam. [ ]
*Penulis adalah ibu rumah tangga, pegiat dakwah dan
penulis buku.