Monday 3 October 2016

Jasa Seo Backlink Website Murah Berkualitas Terbaik

Jasa Backlink Murah Berkualitas Terbaik 100% manual dan SEO Friendly, aman dari penalty google
Mau meningkatkan posisi situs anda di google ?
Untuk itulah kami hadir sebagai solusi bagi Anda, biarkan kami yang melakukan semua pekerjaan backlink ke website Anda, sehingga Anda bisa fokus di pekerjaan yang lebih penting lainnya.
Keuntungan Menggunakan Jasa Backlink kami :
  • Backlink semuanya dofollow, anchored
  • Backlink dipasang secara manual sehingga 100% aman dari penalty google
  • Website yang di gunakan untuk menanam backlink adalah website website terbaik pr tinggi
  • Agan akan menerima laporan backlink dalam bentuk excel (full report)
contoh hasil pemasangan backlink di web oscaronlineshop sebagai berikut :
  • Keyword Ranking di google
  • barang online ranking 1
  • cctv gsm murah ranking 1
  • toko online terpercaya 5
  • lampu disko bergerak 1
  • lampu diskotik bergerak 1
  • cctv mini online ranking 1
  • binocular murah 1
Apa saja yang Agan dapatkan ?
  • 100 High PR Manual Blog comments Backlink
  • 1 atau 2 url dan 1 atau 2 keyword
  • 20 relevan backlink dari web blog 2.0
  • Total 2000 High PR Manual Blog comments backlink kami pasang ke semua 20 relevan backlink dari web blog 2.0
  • Waktu pengerjaan 10 hari

http://projects.id/asco_strategic

MENGHADAPI SUAMI PELIT

TEH Sasa, saya seorang akhwat yang sudah menikah selama 10 tahun dan telah dikaruniai dua orang anak yang telah duduk di bangku SD dan TK. Saat ini saya merasa tertekan karena suami saya orangnya pelit meski rajin shalat. Suami saya hanya akan memberi nafkah kalau diminta. Berapa jumlah penghasilan suami, saya tidak tahu karena dia tidak pernah terbuka pada saya dari awal menikah sampai sekarang. Dia punya rekening tabungan dan kartu kredit atas nama sendiri tanpa sepengetahuan saya. Keadaan tersebut membuat saya harus mengirit pengeluaran. Alhamdulillah saya mempunyai pekerjaan part-time (mengajar) untuk memenuhi kebutuhan pribadi karena suami saya acuh dan kurang memperhatikan kebutuhan saya sebagai istrinya. Ini tidak adil karena kalau belanja untuk kebutuhan pribadi, suami saya selalu membeli barang-barang mahal dan bermerk. Apa yang harus saya lakukan dengan kondisi seperti ini?

JAWAB :

Ibu yang dirahmati Allah, ketahuilah bahwa hidup ber-rumah tangga ibarat dua sisi mata uang, ada sisi bahagia dan sisi duka. Mengenai hal ini, Allah Swt. berfirman,
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami lah kamu dikembalikan.” (Q.S. Al-Anbiyaa [21]: 35)

Saya turut prihatin atas kondisi rumah tangga ibu. Di sini, yang menjadi sumber permasalahan adalah suami yang telah berbuat dosa dengan tidak menafkahi istri dan anak sesuai dengan tuntunan sunah Rasulullah Saw. Mengenai hal ini, Nabi Muhammad Saw. telah memberikan tuntunan dalam salah satu haditsnya, “Satu dinar engkau sedekahkan dalam perjuangan di jalan Allah dan satu dinar engkau pergunakan untuk memerdekakan budak dan satu dinar engkau sedekahkan kepada orang miskin dan satu dinar engkau belanjakan untuk keluargamu, yang terbesar pahalanya adalah yang engkau belanjakan untuk keluargamu.” (H.R. Muslim)

Suami pelit akan dijauhkan dari rahmat, kasih sayang, dan petunjuk Allah Swt. karena hatinya telah ternoda oleh sifat zalim terhadap diri dan orang lain (istri dan anak). Dalam Al-Quran disebutkan bahwa ciri orang yang beriman dan bertaqwa (selain menegakkan shalat) adalah menafkahkan sebagian rezekinya. Meski suami ibu terlihat mengerjakan shalat, akan tetapi kekhusyuannya masih perlu dipertanyakan. Ia mungkin shaleh secara lahiriah, tapi hal tersebut hendaknya dibarengi dengan keshalehan hati dengan senantiasa ber-taqarub kepada Allah Swt. yang sangat membenci orang pelit.

Menjadi tugas ibu untuk mengajak suami kembali pada jalan Allah Swt. dan Rasul-Nya tanpa mengenal lelah. Orientasikan usaha ini pada proses (bukan hasil) dan jadikan sebagai bekal amal di akhirat. Allah Swt. berfirman,

“Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.’” (Q.S. At-Taubah [9]: 105)

Untuk mencapai hal itu, ibu dapat mengajak (dakwah) secara lisan ibu, memberikan keteladan melalui perbuatan, serta mendoakan suami agar kembali ke jalan yang benar. Hal ini sebagaimana firman-Nya berikut ini.

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl [16]: 125)

Walaupun suami bersikap nusyuz (tidak melaksanakan kewajibannya sebagai suami dan ayah), pada tahap awal saya menyarankan agar ibu bersabar dan tetap bertahan dalam rumah tangga ini demi anak-anak. Target paling minimal adalah kebutuhan anak akan sosok seorang ayah masih dapat terpenuhi meski dari segi keteladanan masih harus diimbangi dan diisi oleh ibu.



Mengenai nafkah keluarga, sebaiknya ibu mempunyai penghasilan sendiri sehingga bisa memenuhi kebutuhan pribadi serta anak-anak. Namun demikian, ibu harus tetap mengingatkan dan meminta jatah nafkah (uang) sehari-hari kepada suami. Kalau tidak diminta, suami dengan karakter seperti ini akan semakin terbiasa melalaikan kewajibannya. Meski ingat, dia akan berpura-pura lupa. Meski ada uang, dia akan mengaku tidak punya. Insya Allah, ini adalah ujian keshalehan menuju sakinah dan ketenangan hidup ibu sebagaimana diterangkan dalam ayat berikut.

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. At-Taghaabuun [64]: 14)

Dari keterangan tersebut di atas, tugas ibu adalah mendampingi suami (dengan ketidakshalehannya) dengan tujuan semoga ia segera bertaubat dan kembali pada jalan Allah Swt. Ia bisa disebut sebagai ‘musuh’ ibu dalam tingkat keimanan yang berbeda sehingga ibu tetap harus bersikap hati-hati dan waspada jangan sampai terbawa (menjadi tidak shaleh). Jangan mudah diperdaya dan diintimidasi oleh suami meski ibu harus tetap memiliki jiwa pemaaf dan lapang dada untuk menutupi kesalahannya. Niatkan semuanya karena Allah Swt. Insya Allah, ini akan menjadi jalan untuk mendapat ampunan-Nya.

“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridoan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (Q.S. Ar-Rad [13]: 22)

Insya Allah, semua ujian tersebut akan membuat ibu lebih dekat kepada Allah Swt. dengan selalu berdzikir untuk mengingat-Nya.

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (Q.S. Ar-Rad [13]: 28)

Wallahu ’alam bishawab.


(Hj. Sasa Esa Agustiana)

Mendidik adalah Menyentuh HATI

Berbicara tentang guru berarti membicarakan masa depan bangsa. Guru memegang peranan penting dan strategis, terutama dalam upaya membentuk watak bangsa melalui pengembangan kepribadian peserta didik dan nilai-nilai yang diinginkan.

Peran guru sulit tergantikan sebab guru tidak sekadar mengajar secara fisik, tetapi harus mampu menghadirkan hati dalam mendidik. Perlu disadari bahwa gelar yang disandang oleh guru bukan sebuah jaminan keberhasilan dalam mendidik. Bisa jadi malah menjadi awal sebuah kegagalan jika seorang guru tidak memahami hakikat mendidik.

    Mendidik adalah menyentuh hati. Hati sebagai pusat perubahan peserta didik. Jika hatinya bagus maka tindakan dan perilakunya (karakter) peserta didik akan bagus. Jika hatinya buruk maka tindakan dan perilakunya (karakter) juga akan buruk.

Inilah hakikat makna dari hadis Nabi Muhammad SAW, "Sesungguhnya pada diri anak Adam terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik maka menjadi baik pula seluruh tubuhnya. Apabila ia rusak maka menjadi rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah, sesungguhnya segumpal daging itu adalah hati." (HR Muttafaq alaih).

Perubahan itu dimulai dari hati. Tidak ada seorang pun yang dapat membolak-balikkan hati kecuali Allah SWT. Di sinilah pentingnya pendidikan berbasis hati. Guru (manusia) adalah sebagai pembimbing dan pengarah kepada kebaikan sedangkan pemberi hidayah—menjadikan peserta didik menjadi baik—merupakan hak prerogratif Allah SWT.

Allah SWT berfirman dalam surah al-Qashash [28] ayat 56,

    "Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk."


Aam Amirudin dalam Tafsir Alquran Kontemporer menjelaskan, terkait QS al-Ghasyiyah [88] ayat 21-22 bahwa Allahlah yang memiliki otoritas untuk memberikan hidayah kepada seseorang. Tugas kita (guru) menyampaikan kebenaran dengan ikhlas, bersungguh-sungguh, dan menggunakan metode dan teknik terbaik. Selain dengan mengupayakan melalui aktivitas doa untuk kebaikan peserta didik, seorang guru hendaknya terus mengupayakan usaha secara manusiawi dalam upaya menyentuh hati.

Abbas As-Sisy dalam bukunya, At-Thariq ila al-Qulub, memberikan tips cara menyentuh hati. Di antaranya :



Pertama, menghafal nama. Seorang guru hendaknya berupaya menghafal nama-nama peserta didik dengan baik. Dengan mengenal nama tersebut akan menambah kedekatan hubungan kasih sayang antara orang tua (guru) dengan anak (siswa).

Kedua, menyebarkan salam. Selain ungkapan doa, ucapan salam dapat membangkitkan rasa aman, mempererat ikatan, dan menumbuhkan rasa cinta antara guru dan siswa. Salam antarsiswa, antaraguru, dan antarsiswa dan guru.

Ketiga, menyebarkan senyuman. Senyuman merupakan gambaran isi hati yang menggerakkan perasaan dan memancar pada wajah, seakan berbicara dan memanggil sehingga hati yang mendengar akan terpikat dan akan terjalin hubungan kekeluargaan antaraguru sebagai orang tua dan murid sebagai anak.

Keempat, berjabat tangan. Tangan adalah alat yang sangat peka. Ia dapat menerima dan mengirim isyarat-isyarat yang tampak pada wajah atau yang tersimpan dalam hati. Berjabat tangan akan menambah keharmonisan hubungan antara guru dan murid. Jika sentuhan hati dalam mendidik ini dapat terus diupayakan maka akan dapat mengantarkan kepada kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual peserta didik. Wallahu a'lam.



Oleh : Imam Nur Suharno (Republika.co.id)

KEJUJURAN BERBUAH BIDADARI

JUJUR adalah kata yang mudah diucap, namun sulit untuk didapat. Kejujuran seseorang akan menentukan gerak langkahnya dalam meniti jalan hidup untuk menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.


Dikisahkan, seorang lelaki shaleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah (Irak). Sedang asik berjalan, tiba-tiba dia melihat sebuah apel jatuh. Melihat apel merah yang tergeletak di tanah, Tsabit pun bermaksud mengambil dan memakannya, terlebih hari itu adalah hari yang panas dan ia pun tengah kehausan.

Tanpa berpikir panjang, diambil dan dimakannya apel tersebut. Akan tetapi, baru setengah apel tersebut masuk ke kerongkongannya, dia teringat bahwa buah itu bukan miliknya dan dia belum mendapat izin dari pemilik apel tersebut. Dengan segera, ia pun ke kebun apel dengan niat hendak menemui pemilik apel tersebut dan memintanya menghalalkan buah yang telah dimakannya.

Di kebun itu, ia bertemu dengan seorang lelaki. Tsabit pun berkata, "Aku sudah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya." Orang yang ditemuinya menjawab, "Aku bukan pemilik kebun ini. Aku hanyalah penjaga yang ditugaskan merawat dan mengurus kebun milik majikanku." Dengan nada menyesal, Tsabit bertanya lagi, "Di mana rumah majikan Anda? Aku ingin menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini." Penjaga kebun itu memberitahu bahwa rumah pemilik kebun tersebut cukup jauh, bahkan jika ditempuh dengan berjalan kaki akan menghabiskan waktu sehari semalam. Namun demikian, Tsabit tetap bertekad pergi, walaupun rumah orang yang dimaksud cukup jauh. Yang penting, apel yang dia makan dihalalkan.

Tsabit pun berjalan menuju rumah pemilik apel. Setibanya di rumah yang dimaksud, dia langsung mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Dari dalam rumah, muncullah seorang lelaki setengah baya. Dia tersenyum ramah, dan berkata, "Apakah ada yang bisa saya bantu?" Sambil membalas senyum, Tsabit bertanya, "Betulkah tuan pemilik kebun apel yang ada di pinggiran kota Kufah?" Laki-laki tersebut menjawab, "Benar wahai anak muda. Memangnya ada apa dengan kebun aplelku?" Tsabit berkata lagi, "Wahai tuan, tadi saya sudah terlanjur memakan setengah dari buah apel tuan yang jatuh dari pohonnya. Karena itu, maukah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu?" Lelaki tua di hadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat sebelum kemudian berkata, "Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat." Tsabit pun tercengang dengan jawaban lelaki tersebut. "Syarat apa yang harus saya penuhi?" tanya Tsabit. Lelaki tersebut menjawab, "Syaratnya adalah engkau harus mau menikahi putriku."

Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu dan dia pun berkata, "Apakah hanya karena aku memakan setengah buah apelmu, sehingga aku harus menikahi putrimu?" Yang ditanya tidak menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah melanjutkan dengan berkata, "Sebelum pernikahan dimulai, engkau harus mengetahui terlebih dahulu kekurangan-kekurangan yang dimiliki putriku. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu, ia juga seorang yang lumpuh!" Mendengar pemaparan pemilik kebun tentang putrinya, Tsabit pun terkejut. Dia termenung sejenak sebelum akhirnya menyetujui syarat tersebut. "Yang penting, setengah buah apel yang dia makan dapat dihalalkan," tekadnya dalam hati.

Tanpa menunggu waktu lama, pernikahan pun dilangsungkan. Setelah akad (nikah), Tsabit pun dipersilahkan masuk menemui istrinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu. Tapi tak disangka, perempuan di hadapannya yang kini resmi menjadi istrinya tersebut menjawab salamnya dengan baik. Ketika masuk hendak menghampiri istrinya, sekali lagi Tsabit terkejut karena perempuan yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran tangannya. Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan tersebut. Dia berkata dalam hatinya, "Kata ayahnya dia perempuan tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamku dengan baik. Jika demikian berarti perempuan yang ada di hadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangannya. Mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan yang sebenarnya?"

Setelah Tsabit berhadapan dengan istrinya, ia memberanikan diri untuk membuka pembicaraan, "Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa?" Perempuan di hadapannya tersenyum dan kemudian berkata, "Ayahku benar karena aku tidak pernah melihat segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah." Tsabit bertanya lagi, "Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa?" Istrinya menjawab, "Ayahku benar karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat rido Allah." "Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan?" tanya perempuan itu. Tsabit pun menganggukkan kepalanya tanda meng-iya-kan pertanyaan istrinya tersebut. Selanjutnya perempuan itu berkata, "Aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah. Aku juga dikatakan lumpuh, karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang penuh dengan maksiat."

Betapa bahagianya Tsabit, dia bukan hanya dikaruniai istri yang shalehah tapi juga cantik luar biasa.

Akhir cerita, Tsabit bin Ibrahim dikaruniai seorang putra shaleh yang kelak menjadi seorang ulama besar bernama Imam Abu Hanifah An Nu'man bin Tsabit. Dia (Abu Hanifah) adalah seorang ulama atau imam yang berasal dari Kufah dan hidup pada abad ke-7 M. Sebagai ulama besar, ilmuanya menyebar ke seluruh pelosok dunia.

***

JUJUR adalah kata yang mudah diucap, namun sulit untuk didapat. Kejujuran seseorang akan menentukan gerak langkahnya dalam meniti jalan hidup untuk menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Jujur adalah sumber segala kebaikan, sedangkan dusta adalah sumber segala malapetaka. Ketika seseorang telah berbuat jujur terhadap sesamanya, maka akan banyak orang merasa diuntungkan olehnya. Tetapi jika seseorang telah berbuat dusta, maka ribuan orang akan merasa dirugikan olehnya. Oleh karena itu, berhati-hatilah terhadap bencana dusta, karena Rasulullah Saw. telah mengingatkan lewat sabdanya.

"Hendaklah kamu selalu berbuat jujur, sebab kejujuran membimbing ke arah kebajikan, dan kebajikan membimbing ke arah surga. Tiada henti-hentinya seseorang berbuat jujur dan bersungguh-sungguh dalam melakukan kejujuran sehingga dia ditulis di sisi Allah sebagai orang jujur. Dan hindarilah perbuatan dusta. Sebab dusta membimbing ke arah kejelekan. Dan kejelekan membimbing ke arah neraka. Tiada henti-hentinya seseorang berbuat dusta dan bersungguh-sungguh dalam melakukan dusta sehingga dia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta." (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain, Ali bin Abi Thalib berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya di surga ada kamar-kamar yang terlihat bagian luarnya dari dalamnya, dan bagian dalamnya dari luarnya." Kemudian seorang dusun berdiri dan berkata, "Ya Rasulallah, bagi siapakah kamar-kamar itu?" Rasulullah Saw. menjawab: "Bagi orang yang baik tutur katanya dan suka memberi makan kepada orang lain, terus berpuasa serta shalat di waktu malam ketika orang-orang sedang tidur." (H.R. Tirmidzi)

Berbicara kejujuran (dalam bahasa arab disebut sebagai Ash-Shidqun), di sini penulis akan mengklasifikasikannya menjadi 5  macam, yaitu:

1. Shidq Al-Qalbi (jujur dalam berniat).
Hati adalah poros anggota badan. Hati adalah barometer kehidupan. Hati adalah sumber dari seluruh gerak langkah manusia. Jika hatinya bersih, maka seluruh perilakunya akan mendatangkan manfaat. Tapi jika hatinya keruh, maka seluruh perilakunya akan mendatangkan bencana. Rasulullah Saw. bersabda, "Ingatlah, dalam tubuh itu ada segumpal daging. Bila ia baik, akan baiklah seluruh tubuh. Dan bila ia rusak, rusaklah ia seluruhnya. Itulah qalbu (hati)." (H.R. Bukhari).

Itulah hati dan kejujuran yang tertanam dalam hati akan membuahkan ketentraman, sebagaimana firman-Nya,

"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram." (Q.S. Ar-Ra'd [13]: 28)

2. Shidq Al-Hadits (jujur saat berucap).
Jujur saat berkata adalah harga yang begitu mahal untuk mencapai kepercayaan orang lain. Orang yang dalam hidupnya selalu berkata jujur, maka dirinya akan dipercaya seumur hidup. Tetapi sebaliknya, jika sekali dusta, maka tak akan ada orang yang percaya padanya. Orang yang selalu berkata jujur, bukan hanya akan dihormati oleh manusia, tetapi juga akan dihormati oleh Allah Swt. sebagaimana firman-Nya,

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar." (Q.S. Al-Ahzab [33]: 70-71)

Hidup dalam naungan kejujuran akan terasa nikmat dibandingkan hidup penuh dengan dusta. Rasulullah Saw. bahkan mengkatagorikan munafik kepada orang-orang yang selalu berkata dusta, sebagaimana sabdanya, "Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; bila berucap dusta, kala berjanji ingkar dan saat dipercaya khianat." (H.R. Bukhari dan Muslim)

3. Shidq Al-'Amal (jujur kala berbuat).
Amal adalah hal terpenting untuk meraih posisi yang paling mulia di surga. Oleh karena itu, kita harus selalu mengikhlaskan setiap amal yang kita lakukan. Dalam berdakwah pun, kita harus menyesuaikan antara ungkapan yang kita sampaikan kepada umat dengan amal yang kita perbuat. Jangan sampai yang kita sampaikan kepada umat tidak sesuai dengan amal yang kita lakukan sebab Allah Swt. sangat membenci orang-orang yang banyak berbicara tetapi sedikit beramal.

"Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan." (Q.S. Ash-Shaff [61]: 2-3)

Jadi, yang harus kita lakukan adalah banyak bicara dan juga beramal agar kita bisa meraih kenikmatan surga.

4. Shidq Al-Wa'd (jujur bila berjanji).
Janji membuat diri kita selalu berharap. Janji yang benar membuat kita bahagia. Janji palsu membuat kita selalu was-was. Maka janganlah memperbanyak janji (namun tidak ditepati) karena Allah Swt. sangat membenci orang-orang yang selalu mengingkari janji sebagaimana dalam firman-Nya,

"Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat." (Q.S. An-Nahl [16]: 91)

Kita pun harus selalu membatasi janji yang kita ucapkan, baik kepada Allah maupun kepada manusia karena setiap janji yang kita ucapkan akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah Swt.

"...Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya." (Q.S. Al-Israa [17]: 34)

5. Shidq Al-Haal (jujur dalam kenyataan).
Orang mukmin hidupnya selalu berada di atas kenyataan. Dia tidak akan menampilkan sesuatu yang bukan dirinya. Dia tidak pernah memaksa orang lain untuk masuk ke dalam jiwanya. Dengan kata lain, seorang mukmin tidak hidup berada di bawah bayang-bayang orang lain. Artinya, kita harus hidup sesuai dengan keadaan diri kita sendiri. Dengan bahasa yang sederhana, Rasulullah Saw. mengingatkan kita dengan ungkapan, "Orang yang merasa kenyang dengan apa yang tidak diterimanya sama seperti orang memakai dua pakaian palsu." (H.R. Muslim). Dari ungkapan ini, Rasulullah Saw. menganjurkan kepada umatnya untuk selalu hidup di atas kenyataan dan bukan hidup dalam dunia yang semu.


Ingin agar Ramadhan tahun ini memiliki dampak perubahan yang luar biasa bagi masa depan Anda? Sekaranglah saatnya berlatih jujur yang dimulai dari jujur pada diri sendiri dengan melaksanakan semua ibadah Ramadhan dengan penuh kejujuran. Wallahu a'lam.


Sumber : www.percikaniman.org


KARAKTERISTIK KAUM TERLAKNAT

(Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 87-90)

(87) Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada Isa putra Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; Maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?

(88) Dan mereka berkata, "Hati kami tertutup". Tetapi, sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; Maka sedikit sekali mereka yang beriman.

(89) Dan, setelah datang kepada mereka Al-Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka, laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.

(90) Alangkah buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Karena itu mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan.

***

"Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada Isa putra Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; Maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?" (Q.S. Al-Baqarah [2]: 87)

Redaksi ayat kali ini masih berbicara seputar nikmat Allah yang diberikan kepada Bani Israil sekaligus menjelaskan sikap buruk mereka terhadap nikmat tersebut. Hal ini semata sebagai motivasi untuk kita agar senantiasa memahami arti dari sebuah nikmat disertai rasa syukur dan berusaha untuk senantiasa memperbaiki kekurangan-kekurangan diri dan mengikutinya dengan taubatan nasuha.

Dalam ayat ini, Allah mengungkap kembali deretan nikmat yang dilimpahkan kepada Bani Israil. Nikmat tersebut tiada lain adalah sambung menyambungnya kedatangan utusan Allah kepada mereka. Setelah Allah mengutus Nabi Musa a.s. dengan Al-Kitab (Taurat), Allah mengutus nabi-nabi lainnya, salah satunya Nabi Isa a.s.

Sejumlah riwayat mengemuka­kan nabi lain yang mengiringi kedatangan Nabi Musa a.s. antara lain Daud a.s., Sulaiman a.s., Daniel a.s., Yasy'iya a.s., Armiya a.s., Hazqil a.s., Zakariya a.s., dan putranya Yahya a.s., serta sejumlah nabi lainnya. Mereka semua adalah nabi dan rasul­ yang diturunkan kepada Bani Israil dan berasal dari kalangan Bani Israil sendiri. Jelasnya, kayalah mereka dengan kedatangan nabi dan rasul.

Selain itu, Allah pun menyerta­kan bukti-bukti kebenaran para nabi dan rasul tersebut dengan sangat nyata dan lebih dari cukup. Selain kitab suci, Allah sertakan mukjizat yang besar baik kepada Nabi Musa a.s. maupun Nabi Isa a.s. yang secara khusus disebutkan dalam ayat ini, yaitu mendapat dukungan kekuatan dari Ruhul-Qudus. Ruhul Qudus menurut sebagian besar ahli tafsir adalah Malaikat Jibril meski ada pula yang berpendapat bahwa Ruhul Qudus adalah roh Isa yang disucikan oleh Allah Swt.

Namun, semua bukti yang Allah sodorkan kepada Bani Israil hanya membuat keburukan mereka kian bertambah. Semua itu semata dilatarbelakangi kecintaan pada dunia dan ketaatan pada hawa nafsu sehingga mereka enggan mengikuti dan memercayai nabi-nabi tersebut. Bahkan, sebagian dari nabi-nabi itu ada yang dibunuh karena tidak bersedia menuruti selera mereka yang kerap melanggar syariat. Allah kemudian menyindir mereka dengan bertanya, "Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; Maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?"
Dalam ayat lain, Allah mempertegas pertanyaan ini.

"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik." (Q.S. Al-Hadid [57]: 16)

"Dan mereka berkata, 'Hati kami tertutup.' Tetapi, sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; Maka sedikit sekali mereka yang beriman." (Q.S. Al-Baqarah [2]: 88)

Seolah menjawab pertanyaan Allah pada ayat sebelumnya, Bani Israil yang hatinya keras membatu berkata, "Hati kami tertutup." Perkataan itu jelas mengandung ejekan dan olok-olok. Jawaban itu sama artinya dengan mereka tidak memahami yang disampaikan Rasulullah dan tidak menerima ajaran yang diampaikan oleh beliau. Sungguh kesombongan berlebih yang dipertontonkan Bani Israil laknatullah. Begitulah indikasi suatu kaum yang hanya dapat melihat hakikat suatu perkara dengan kacamata materi yang tampak dan kasat mata.

Akan tetapi, Allah Yang Maha Mengetahui mengemukakan bahwa pernyataan itu semata akal-akalan untuk menutupi pelanggaran mendasar yang dilakukan oleh Bani Israil. Semua itu lebih sebagai kutukan Allah akan perilaku mereka yang kelewat buruk. Kalaupun ada keimanan, tingkat keimanan mereka sangat lemah (sedikit) karena keimanan itu ada di balik penolakan terhadap sebagian besar ayat-ayat Allah dan meninggalkan kewajiban beramal.

"Dan setelah datang kepada mereka Al-Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu." (Q.S. Al-Baqarah [2]: 89)

Pada ayat sebelumnya telah dijelaskan mengenai contoh-contoh kekafiran dan sifat keras kepala Bani Israil terhadap Nabi Musa a.s. dan perintah-perintah Taurat. Pada ayat ini, dibicarakan tentang orang-orang Yahudi yang hidup pada permulaan Islam. Berdasarkan petunjuk-petunjuk yang tertulis dalam Taurat mengenai Nabi Muhammad Saw., mereka menunggunya dengan berhijrah dari kota dan rumah mereka menuju Hijaz. Orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah dan sekitarnya berkata kepada orang-orang musyrikin Madinah bahwa secepatnya seorang rasul yang bernama Muhammad akan diutus dan mereka akan beriman kepadanya. Mereka pun berkata akan mengalahkan semua musuh-musuh Rasulullah Saw.

Akan tetapi, ketika Nabi Muhammad Saw. hijrah ke Madinah, musyrikin Madinah justru beriman, sedangkan orang-orang Yahudi (akibat fanatik dan cinta dunia) mengingkarinya dan mendustakan yang tertulis di dalam Taurat. Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu dan pengetahuan saja tidaklah cukup. Diperlukan semangat menerima kebenaran dan penyerahan diri. Walaupun orang-orang Yahudi (khususnya para cendekiawannya) telah mengetahui kebenaran Nabi Islam, mereka tidak siap menerima kebenaran dan tunduk di hadapannya. Begitulah ciri kaum terkutuk yang tidak memiliki rasa malu dan suka menjilat ludah serta perilakunya menghinakan diri sendiri.

"Alangkah buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan. Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan." (Q.S. Al-Baqarah [2]: 90)

Betapa busuknya seorang hamba yang berani menjual keimanannya (dan menukarnya) dengan rasa gengsi dan egoisme. Hanya karena Rasulullah tidak berasal dari kalangan Bani Israil, bukti-bukti nyata kebenaran akan kenabian dan kerasulan Muhammad Saw. ditolak mentah-mentah. Padahal, Allah mengutus Rasulullah atas kehendak-Nya, atas karunia yang diberikan kepadanya.

Oleh karenanya, murka Allah pun datang berlipat ganda akibat kekufuran mereka yang berlipat ganda pula. Dengan memungkiri Muhammad Saw., Bani Israil sudah mendapat satu kemurkaan. Kemudian, kitab Taurat memerintahkan agar mereka beriman akan kedatangan Nabi Muhammad. Hal ini pun diingkari pula sehingga dapatlah mereka dua murka.

Dari 4 ayat tadi, terdapat beberapa pelajaran dapat kita petik, di antaranya sebagai berikut.

1. Kedatangan para utusan Allah merupakan nikmat yang patut disyukuri. Jangan sekali pun mengikuti perilaku Bani Israil yang terkutuk yang mengingkari keberadaan para rasul, bahkan sampai berani membunuh mereka.

2. Allah senantiasa melihat dan menyaksikan apa pun yang kita lakukan. Satu kali kita melupakannya, Allah pun akan melupakan kita dan mengetahui apa saja yang kita perbuat.

3. Di hadapan Allah Swt., ketundukan dan kepasrahan tidak diukur dengan selera dan kecenderungan hawa nafsu.

4. Semua hamba adalah sama di sisi perintah dan hukum Allah tanpa membedakan ras, suku, warna kulit, dan sebagainya.

5. Kebahagiaan dan kebinasaan manusia berada di tangan-Nya. Jika ada sekelompok manusia yang mendapat murka dan laknat-Nya, itu semua karena kekafiran dan sifat keras kepala. Allah telah memberikan peluang kepada semua manusia untuk memperoleh hidayah dan petunjuk melalui para nabi yang diutus-Nya.

6. Motivasi dalam diri seseorang menjadi ukuran tingkat ketaatan dalam beragama.

7. Hasud menjadi sumber kekafiran. Orang Yahudi berhasrat agar nabi yang diutus senantiasa berasal dari etnis mereka. Ketika hal tersebut tidak terjadi, mereka lalu menjadi kafir.

8. Transaksi paling buruk adalah membeli siksa Allah dengan badan sendiri.

9. Kewajiban terhadap nikmat yang diberikan adalah bersyukur, sedangkan kewajiban terhadap dosa yang dilakukan adalah bertobat.

10. Sifat dengki merupakan "saudara" kezaliman yang hasil akhir dari keduanya adalah sama-sama tidak mendapatkan (diharamkan dari sesuatu) dan kehancuran.

11. Semua agama Ilahi saling membenarkan dan bukan saling berhadap-hadapan.

Semoga, semua pelajaran tersebut dapat kita serap dan dijadikan bahan introspeksi terlebih pada momentum Ramadhan seperti sekarang ini. Insya Allah. Wallahu a'lam.



Ribrik TAFSIR Majalah MAPI edisi Ramadhan 1432H

Jejak Sejarah Nabi Adam AS

Tafsir Al Qur'an Surat Al-Baqarah [2]: 34-39

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudla kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Dan Kami berfirman: ‘Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.
Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: ‘Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.
Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Kami berfirman: ‘Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.’
Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

***

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudla kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”

Kelahiran Nabi Adam a.s. merupakan ikon terciptanya makhluk baru dalam sejarah kehidupan. Dalam catatan sejarah yang diabadikan Al-Quran, penciptaan Adam diikuti sederet peristiwa istimewa yang menunjukkan betapa manusia merupakan makhluk yang secara sengaja diciptakan dengan wujud sempurna dan dipenuhi kemulyaan. Mengawali ciptaannya, Allah telah melebihkan manusia dari makhluk lain dengan memberinya bekal ilmu yang akan terus berkembang melalui peran vital akal yang melengkapi kesempurnaan tersebut. Kelebihan berikutnya adalah instruksi Allah terhadap para malaikat untuk bersujud kepada Adam. Sujud dalam arti penghormatan, pengagungan, penghargaan, pemberian salam, dan ketaatan kepada Allah karena malaikat senantiasa menjalankan perintah Allah.

Namun kenyataan seperti itu bukanlah alasan bagi manusia untuk menyombongkan diri. Ketahuilah bahwasannya kehebatan yang diberikan Allah kepada manusia bukan tanpa maksud. Sadarlah, bahwasannya manusia terlahir dengan tugas berat sebagai khalifah di muka bumi ini. Perlu dicermati pula bahwa sujudnya malaikat kepada manusia hanyalah sebagai petunjuk bahwa malaikat merupakan makhluk suci yang tiada pernah membangkang perintah Allah.

Selain malaikat yang selalu taat, ada pula makhluk ciptaan Allah yang selalu sinis dan akhirnya tidak menerima instruksi Allah Swt. tersebut di atas. Makhluk tersebut bernama iblis. Siapakah iblis itu?

Beberapa pendapat mencoba mendeskripsikan siapa sebenarnya iblis sehingga berani membangkang perintah Tuhannya. Sebagian pendapat mengatakan bahwa iblis merupakan bagian dari jenis malaikat yang disebut jin. Iblis memiliki kedudukan sebagai ketua jin dan penjaga pintu surga. Dia memiliki kerajaan langit dunia dan kerajaan bumi. Namun demikian, Ibnu Jarir (mengutip melalui sanad dari Al-Hasan) berkata, “Iblis sama sekali bukan dari golongan malaikat. Iblis adalah asli bangsa jin, sebagaimana halnya Adam adalah asli bangsa manusia. Ini merupakan kutipan yang sahih dari Al-Hasan.” Demikianlah, tatkala Allah menyuruh para malaikat bersujud kepada Adam, maka masuk pula iblis ke dalam perintah itu. Sebelumnya iblis adalah hamba yang saleh. Dia beribadah bersama para malaikat. Tatkala Allah menyuruh bersujud kepada Adam, maka para malaikat bersujud karena taat kepada Allah. Namun karena pengaruh hasud atas kemuliaan yang telah diberikan Allah, iblis menolak perintah itu. Iblis merasa bahwa dirinya lebih baik dari Adam, bahkan dengan lantang mengatakan bahwa mereka diciptakan dari api sementara Adam diciptakan dari tanah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ayat lain yang berbunyi, “Allah berfirman: 'Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?' Menjawab iblis: 'Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.'” (Q.S. Al-A’raaf [7]: 12)

Merasa diri lebih baik, lantas iblis berlaku sombong. Atas dasar sombong, iblis melakukan kedurhakaan dan akhirnya divonis sebagai golongan kafir. Iblis pun diusir dan dijauhkan dari rahmat Allah. Sesuatu yang hendaknya menjadi pelajaran bagi kita saat merasa diri lebih dari orang lain. Dalam hadits yang sahih, Rasul bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan meski sebesar biji sawi.” (H.R. Muslim)

Ada pendapat yang mengatakan bahwa perintah sujud dalam ayat ke-34 surat Al-Baqarah tersebut di atas hanya diperintahkan kepada para malaikat Bumi. Menurut pendapat yang sahih, seluruh malaikat (baik yang ada di bumi maupun di langit) bersujud kepada Adam. Zahir ayat itu pun universal, “Maka seluruh malaikat bersujud, kecuali iblis.”


“Dan Kami berfirman: 'Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.”

Kata uskun dalam bahasa Arab mengandung makna ketenangan karena orang yang tinggal di dalam rumah (maskan) akan merasakan ketenangan. Kata uskun juga biasanya menunjuk arti tinggallah sementara. Hal inilah kemudian yang menjelaskan mengapa Adam tidak selamanya tinggal di surga.

Dalam suatu riwayat yang diterima dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas disebutkan bahwasanya ketika Adam tinggal di dalam surga seorang diri, dia merasa kesepian. Karenanya itulah ketika dia sedang tidur, diciptakanlah Siti Hawa dari tulang rusuknya yang pendek dari pinggang kirinya. Adam pun bisa merasa tenang berada di samping Siti Hawa. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya...” (Q.S. Al-A’raaf [7]: 189)

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Nasihatilah perempuan dengan cara yang baik! Perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk, sementara yang paling bengkok itu bagian teratasnya. Jika engkau bersikeras meluruskannya, ia akan patah. Tetapi jika engkau membiarkannya, ia akan bengkok selamanya. Maka nasihatilah perempuan dengan cara yang baik!” (H.R. Bukhari, Muslim, Ibnu Abi Syaibah, dan Baihaqi)

Dari ayat ke-35 surat Al-Baqarah ini, ada pertanyaan yang sangat menggelitik. Samakah surga yang ditempati Adam pertama kali bersama Hawa dengan surga akhirat nanti? Mayoritas ulama berpendapat bahwa surga yang ditempati Nabi Adam pertama kali adalah syurga yang ada di langit. Mereka merujuk kepada dalil-dalil di bawah ini.
1. Allah menyebutkan surga pada ayat di atas dengan menggunakan alif lam yang berarti bahwa surga yang ditempati Adam pada waktu itu adalah surga yang sudah diketahui orang banyak, yaitu surga yang berada di langit.
2. Di surga ini, (secara umum) jika seseorang masuk kedalamnya setelah hari kiamat, niscaya dia tidak akan keluar lagi darinya. Akan tetapi, jika ia masuk sebelum hari kiamat, kemungkinan dia bisa keluar lagi sebagaimana yang terjadi pada diri Nabi Adam dan juga Nabi Muhammad Saw. saat peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
3. Di sana (surga) ada beberapa makhluk yang dikehendaki Allah bisa keluar masuk, salah satunya adalah para malaikat.

Sebagian ulama lain berpendapat bahwa surga yang ditempati Nabi Adam pada waktu penciptaannya adalah surga di bumi. Lokasinya di daerah Adan, Yaman. Mereka berdalil bahwa suga yang berada di langit, jika seseorang sudah masuk ke dalamnya, niscaya dia tidak akan keluar lagi. Mereka juga berdalil bahwa di dalam surga tidak ada kebohongan dan tidak ada pula kemaksiatan dan hal ini bertentangan dengan penggambaran pada ayat tersebut di atas yang menunjukkan iblis berbuat maksiat dan berbohong kepada Adam (Tafsir Qurtubi: 1/ 207).


“Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: 'Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.'”

Ungkapan adzallahuma (menggelincirkan) menunjukkan pengertian adanya gerakan yang dilakukan. Hal ini seolah-olah menggambarkan bahwa kita menyaksikan setan yang sedang menjauhkan Adam dan Hawa dari surga serta mendorong kaki mereka sehingga terpeleset dan jatuh (Ti Zhilalil Quran).

Setan masuk ke tempat Adam dan Hawa lalu merayu, menggoda, dan membujuk mereka agar mendekati pohon terlarang. Setan mengatakan bahwa itu adalah pohon kekal, siapa yang memakannya akan kekal di dalam surga. Setan memang sangat pandai merayu keduanya dan akhirnya Adam dan Hawa tergoda. Mereka pun mendekati pohon itu serta memakan buahnya. Keadaan itulah yang kemudian menjadikan terbukanya aurat mereka seperti digambarkan pada ayat berikut ini.

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Q.S. Al-A'raaf [7]: 27)

Kejadian di atas akhirnya menyebabkan semua pelaku (Adam, Hawa, dan iblis) disuruh turun ke bumi dan dimulailah babak baru perseteruan iblis dan manusia.


“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”

Begitulah Adam. Sebagai manusia pertama, ia mempunyai aspek kesadaran dan penyesalan akan kesalahan yang telah diperbuat yang membuatnya dapat melakukan pertobatan dengan sungguh-sungguh. Hal ini pula lah yang kemudian ia turunkan kepada anak cucunya (manusia secara keseluruhan) sebagai modal utama meraih tangga kebahagiaan di akhirat kelak.

Penyesalan atas kesalahan yang telah dilakukan oleh Adam dibarengi pula oleh dengan tanggung jawab. Dia memohon kepada Allah agar diberi maaf dan ia pun bertobat atas kesalahan tersebut. Sungguh sebuah kesalahan yang timbul karena ketidaktahuan atas adanya tipu daya musuh yang selalu mengintai kelemahan dan kelalaian manusia.
Demikian sampai akhirnya Adam pun tinggal di Bumi dan nyatalah sekenario Allah bahwa ia akan menjadi khalifah. Kehidupan di Bumi sekaligus sekaligus menjadi ajang penentuan atas bahagia dan binasanya manusia kelak di akhirat sebagaimana digambarkan dalam ayat berikutnya.


“Kami berfirman: 'Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.'”

Dengan bekal kesempurnaan berupa akal, hati, dan nafsu, selanjutnya manusia memikul beban ganda di muka bumi ini yaitu kekhalifahan. Ini merupakan tugas utama atas eksistensinya di muka bumi. Selain menjadi khalifah, manusia juga harus berjuang memenangkan pertarungan abadi dengan setan yang hasilnya akan menjadi penentu nasib kehidupan selanjutnya di akhirat. Pertarungan ini bukan merupakan sesuatu yang enteng. Diperlukan energi ekstra untuk bisa memenangkannya. Tapi manusia tidak perlu risau, dengan Rahmat-Nya yang senantiasa tercurah, Allah mernyediakan jalan terang bagi manusia. Inilah yang kemudian disebut sebagai hidayah. Mengikutinya adalah kebahagiaan dan menjauhinya merupakan kebinasaan sebagaimana digambarkan ayat berikutnya.


“Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

Ayat ini bisa dikatakan sebagai pengunci kisah yang dijelaskan dalam lima ayat sebelumnya. Dari kisah tersebut, terbentanglah di hadapan kita suatu petunjuk untuk tidak mundur dari arena yang menuntut kita untuk berperan ganda dan bekerja secara maksimal. Tetap waspada terhadap musuh abadi yang lihai dan cerdik. Senantiasa menjaga semangat dan kerja keras untuk meraih asa dan cita. Wallahu a’lam.


MENALAR KIAMAT

Frasa illa bil-haqq menyatakan bahwa alam semesta (langit, bumi dan yang ada di antara keduanya) diciptakan dengan kebenaran yang bisa ditafsirkan sebagai alam diciptakan dengan tujuan tertentu. Bahwa, alam semesta yang diciptakan dalam peristiwa big-bang dan dipersiapkan selama 10-20 milyar tahun untuk menyambut munculnya kehidupan yang puncaknya adalah hadirnya manusia di muka bumi.

"Tidaklah Kami ciptakan langit-langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya kecuali dengan kebenaran (al-haqq) dan ajal yang tertentu, dan orang orang kafir berpaling terhadap apa apa yang telah diperingatkan." (Q.S. Al-Ahqaaf [46]: 3)

Dalam kitab Tafsir Al-Nukti wal-'Uyun karya Abul-Hasan Ali al Mawardy disebutkan bahwa ada empat maksud frasa illa bil-haqq dalam ayat tersebut; illa bi-s'shidqi atau kecuali dengan kebenaran (ini menurut Ibnu Ishaq), illa bil-'adli atau kecuali dengan keadilan (ini menurut yang Mawardy), illa lin-nahqi atau kecuali untuk menyelimuti (ini menurut al-Kalbi), dan illa lil-ba'atsi atau kecuali untuk hari kebangkitan (ini menurut Yahya). Sedangkan, frasa ila ajalin musamma memiliki dua macam tafsiran; ajalil-qiyamah atau batas hari kiamat (ini menurut Ibnu Abbas) dan ajalil-maqduri likulli makhluq atau batasan takdir setiap makhluk (ini menurut Mawardy).

Frasa illa bil-haqq menyatakan bahwa alam semesta (langit, bumi dan yang ada di antara keduanya) diciptakan dengan kebenaran yang bisa ditafsirkan sebagai alam diciptakan dengan tujuan tertentu. Bahwa, alam semesta yang diciptakan dalam peristiwa big-bang dan dipersiapkan selama 10-20 milyar tahun untuk menyambut munculnya kehidupan yang puncaknya adalah hadirnya manusia di muka bumi.

Hal ini selaras dengan teori tentang ketertalaan alam semesta (fine tuned universe), yakni bahwa alam semesta mengembang dengan kecepatan dan kerapatan awal yang sangat akurat dengan proses yang akhirnya memungkinkan terbentuknya galaksi-galaksi, lalu tatasurya-tatasurya dan akhirnya planet-planet. Salah satu planet tersebut adalah bumi yang setelah empat milyar tahun cocok untuk makhluk hidup yang berujung dengan manusia.

Apabila kecepatan awal lebih lambat sedikit saja, maka akan menyebabkan alam semesta runtuh kembali seperti sebelum proses terwujudnya. Dan sebaliknya, bila terlalu cepat sedikit saja, maka akan berakibat alam mengembang cepat dan menjadi kosong karena tidak sempat terbentuk apapun.

Adapun frasa ila ajalin musamma bisa diartikan sampai waktu yang ditentukan. Dalam kosmologi modern, ada beberapa skenario tentang akhir alam semesta.

Pertama, Closed Universe. Alam semesta mengembang sejak titik awal ledakan big-bang dengan perlambatan dan sampai titik tertentu berhenti dan kembali mengkerut akhirnya sampai ke titik nol yang sangat rapat dan hancur (big-crunch).

Kedua, Open Universe. Alam semesta mengembang sejak ledakan awal big-bang dengan percepatan, sehingga meluas semakin cepat terus sampai tak terhingga sehingga menjadi semakin jarang dan hampa dan musnah. Dan ketiga, Flat Universe. Alam semesta mengembang dengan kecepatan makin lambat, mendekati nol, tetapi tidak sampai berhenti sama sekali.

Walhasil, yang manapun dari skenario tadi yang akan terjadi, alam beserta manusia tetap saja akan berakhir. Kita harus beriman tentang adanya hari kiamat, tetapi detail tentang bagaimana proses hancurnya masih bisa di teliti dengan ilmu astrofisika. Wallahu a'lam.

Saturday 1 October 2016

INSPIRASI dan DO'A!!! SABAR Keturunan Tak Kunjung Datang

Dalam sebuah kesempatan ada sahabat penulis curhat tentang rumahtangganya. Ia yang sudah menikah satu setengah tahun dan sampai saat ini belum juga memperoleh keturunan. Ragam ikhtiar sudah ia lakukan dari medis (operasi laparoscopy dan inseminasi) hingga spiritual (shalat, tahajud, dan mengaji) namun belum ada tanda-tanda kehamilan.  Dalam kegundahannya ia pun bertanya, apa lagi yang harus dilakukan?.

Sahabat muslimah yang penulis cintai karena Allah, harus kita akui memang, sesuai dengan fitrah manusia, Allah Swt. mengaruniakan hasrat menyukai anak-anak. Wajar bila psangan yang telah menikah ingin memiliki status sebagai ibu dan ayah. Sang istri ingin merasakan pengalaman tumbuh janin di rahimnya, proses kehamilan, melahirkan, menyusui, dan menimang bayi. Pendeknya, mendambakan rumah tangga yang diramaikan oleh tingkah bocah yang lucu, riang, polos, dan menggemaskan.

“Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.’” (Q.S. Al-Furqaan [25]: 74)

Namun, coba simak firman-Nya yang menerangkan bahwa satu sisi manusia dihiasi hasrat menyukai dan mencintai anak-anak, tetapi kecintaan itu hendaknya jangan membutakan hati, membutakan iman, harus pandai mengontrol diri bahwa hasrat tersebut tetap saja sebatas salah satu bentuk kesenangan hidup dengan standar dunia,

“Dijadikan indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan berupa perempuan (lawan jenis), anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik.” (Q.S. Ali Imran 3 : 14).

Selanjutnya mesti diingat masih ada kesenangan yang lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, “Katakanlah, ‘Maukah Aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu? Bagi orang-orang yang bertakwa (tersedia) di sisi Tuhan mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan pasangan-pasangan yang suci, serta ridha Allah. Dan Allah Maha Melihat hamba-hambaNya.” (Q.S. Ali Imran [3]: 15)

Belum dikaruniai anak jangan sampai melemahkan target sesungguhnya dalam meraih ketakwaan. Perbanyaklah amal saleh dan bersabarlah, betapa luas bidang garapan yang harus dikerjakan, firman-Nya,

“Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhan-Mu’, bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan dan bumi Allah itu luas.’ Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (Q.S. Az-Zumar [39]: 10)

Wajar jika kesedihan melanda ketika ada hal yang luput dari keinginan, tetapi berusahalah lakukan hal lain yang positif, janganlah terlalu larut dalam kesedihan. Harus juga diingat sesungguhnya anak merupakan salah satu bentuk (ujian) bagi orangtua. Ada dua kemungkinan: orangtua selamat atau sebaliknya, celaka ketika dihisab mempertanggungjawabkan kewjibannya,

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan di sisi Allah pahala yang besar. Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatilah dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa dijaga dirinya dari kekikiran mereka itulah orang-orang yang beruntung. Jika kamu meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, niscaya Dia melipatgandakan (balasan) untukmu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Mensyukuri, Maha Penyantun.” (Q.S. At-Tagabun [64]: 15-17); “Dan ketahuilah bahwa harta dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.” (Q.S. Al-Anfal [8]: 28)

Jangan berburuk sangka. Boleh jadi rumah tangga yang belum dikaruniai anak merupakan salah satu wujud kasih sayang Allah Swt. Dia hendak menghindarkan kita dari ujian. Namun, bisa jadi hanya persoaan waktu saja sebelum amanah itu diletakkan ke dalam genggaman.

Sekali lagi, bersabarlah dalam penantian. Maksimalkanlah usaha doa, usaha medis, usaha komunikasi dengan pasangan, bertawasul dengan amal saleh, dan bertawakal kepada Allah Swt. seperti halnya Nabi Ibrahim a.s. dan istrinya,

“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (-ku) Ismail dan Ishak. Sunggguh, Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. ‘Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap melaksanakan shalat, ya Tuhan kami perkenankanlah doaku. Ya Tuhan kami ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan semua orang yang beriman pada hari diadakan perhitungan (hari kiamat).’” (Q.S. Ibrahim [14]: 39-41)

Rendahkan diri kita di hadapan Allah Swt. yang Maha Mengetahui. Yakini bahwa semua yang tengah dijalani adalah yang terbaik menurut ilmu-Nya. Berbaiksangkalah selalu kepada-Nya bahwa semua yang terjadi mengandung unsur kebaikan.



Terakhir, ingatlah segala keinginan, kecintaan, kesukaan manusia di dunia ini kecil, bukanlah segala-galanya.

“Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui.“ (Q.S. Ar-Rum [30]: 64)

Bahkan, meskipun orangtua dengan anak memiliki pertalian nasab (keturunan), tetapi di akhirat mereka hanya bisa selamat dengan bekal ketakwaan masing-masing,

“Wahai manusia bertakwalah kepada Tuhan-Mu dan takutlah pada hari yang (ketika itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun. Sungguh janji Allah pasti benar, maka janganlah sekali-kali kamu teperdaya oleh kehidupan dunia…” (Q.S. Lukman [31]: 33).

Wallahu a‘lam. [ ]

*Penulis adalah ibu rumah tangga, pegiat dakwah dan penulis buku.

Kajian Ilmu Warits

Berikut ini adalah kajian tentang Ilmu yang mempelajari tentang Warisan (ilmu Faraidh). Ada banyak hadist yang menerangkan betapa pentingnya belajar dan mengerti Ilmu Faraid, seperti salahsatunya hadis :

Nabi SAW. bersabda, "Pelajarilah ilmu faraid serta ajarkanlah kepada orang-orang, karena aku adalah orang yang akan direnggut (wafat), sedang ilmu itu akan diangkat dan fitnah akan tampak, sehingga dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan, mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup meleraikan (menyelesaikan perselisihan pembagian hak waris) mereka." (HR Imam Ahmad, at-Tirmidzi, dan al-Hakim: Ibnu Mas'ud r.a.)

Baiklah mari kita mulai dari hal yang mudah dahulu.

PENENTUAN HARTA WARITSAN

1. Inventarisasi Harta Waritsan

Mayoritas ulama menyatakan bahwa harta waritsan adalah harta yang ditinggalkan orang yang meninggal untuk diberikan kepada ahli waritsnya. Imam Malik memberikan pengertian berdasarkan sebuah riwayat berikut ini :

مَنْ تَرَكَ حَقًّا أَوْ مَالاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ

Barangsiapa meninggalkan suatu hak atau suatu harta, maka hak atau harta itu adalah untuk ahli waritsnya setelah kematiannya.

"Hak" dalam riwayat di atas termasuk kewajiban membayar hutang, hak wali, hak khiyar dan lain sebagainya.

Seperti halnya dalam syarat pemberian hak milik dengan cara lain seperti hibah atau wasiat, pemberian hak milik melalui waritsan pun semestinya merupakan harta yang semula merupakan hak milik sah dari almarhum. Status hak milik dinyatakan dengan tanda bukti yang sah meski kadangkala memakai atau meminjam nama lain dalam sertifikat atau yang lainnya, selama tidak ada pernyataan hibah kepada orang yang memiliki nama tersebut.

Itu sebabnya istilah lain yang sama populernya dengan harta waritsan adalah harta peninggalan. Misalnya seseorang meninggal dengan harta kekayaan yang dimilikinya adalah rumah, tanah, mobil, perhiasan dan barang berharga lainnya.

Namun masalah muncul pada penentuan harta peninggalan pada almarhum/ah yang masih merupakan suami atau istri seseorang. Mengingat Islam tidak merinci criteria harta apa saja yang dapat dijadikan rujukan untuk menentukan bahwa harta yang dimaksud merupakan peninggalan almarhum/ah. Sehingga pola yang biasa dipakai di suatu wilayah bisa dijadkan sandaran selama tidak bertentangan dengan prinsif-prinsif syari'at. Khusus untuk negara kita Indonesia, pola gono-gini ( campur kaya dan raja kaya ) yang ada pada sebagian adat jawa dan beberapa daerah lainnya bisa dijadikan salah satu sandaran dalam penentuan harta peninggalan bagi almarhum yang masih menjadi istri atau suami. Dan sejauh ini, pola ini cukup efektif untuk menentukan harta peninggalan almarhum yang masih menjadi isteri atau suami dengan - sekali lagi - tetap memperhatikan batas-batas yang ditetapkan oleh syari'at.

Berikut beberapa langkah penentuan harta waritsan khusus bagi almarhum yang masih memiliki pasangan ( suami atau isteri ) :

a. Harta bawaan ( raja kaya ;sunda ). Harta yang dibawa almarhum sebelum menikah dan bertahan ( tetap atau berkurang ) sampai meninggal. Termasuk harta bawaan adalah sejumlah harta yang muncul berikutnya berkaitan dengan kematian almarhum. Misalnya pesangon, tunjangan kematian, pelunasan hutang pada almarhum dari orang lain dan lain sebagainya.

b. Harta gono gini. Harta yang dimiliki bersama dengan pasangan setelah berumah tangga secara mutlak, baik yang bersangkutan ikut berusaha dalam bentuk pekerjaan atau hanya memelihara dan merawatnya saja. Harta gono gini dibagi dua terlebih dahulu dengan satu bagian untuk suami/isteri yang masih hidup dan satu bagian lainnya untuk almarhum sebagai harta waritsan. Prosentase pembagian gono-gini ditetapkan berdasarkan kesefakatan antar pihak terkait khususnya ahli warits. Namun umumnya dibagi sama yaitu fifty-fifty.

Ketentuan di atas tidak bersifat mengikat, sehingga diperlukan musyawarah bersama khususnya di kalangan ahli warits untuk menentukan pilihan terbaik dari hasil analisa dan bukti-bukti yang dapat ditemukan.

Selesai mengiventarisasi jumlah harta waritsan dari almarhum, jangan lupa untuk terlebih dahulu memenuhi kewajiban membayar hutang dan menunaikan wasiat (jika ada) sebelum dibagikan kepada ahli warits.


2. Menyegerakan Pembagian harta Waritsan
 

أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ


"Berikanlah bagian fara'idh (warisan yang telah ditetapkan) kepada yang berhak menerimanya. Dan harta yang tersisa setelah pembagian, maka itu bagi pewaris lelaki yang paling dekat (nasabnya)." (HR. Al-Bukhari)

Urusan waritsan merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dari mengurus jenazah, membayarkan hutang dan menunaikan wasiat. Keempatnya merupakan perkara yang harus disegerakan meski masing-masing memiliki standar waktu masing-masing dalam menyegerakannya.
Mengurus jenazah tentu jangka waktunya lebih pendek dan tidak diperkenankan melebihi hitungan hari kecuali jika keadaan darurat. Sementara membayar hutang, menunaikan wasiat dan membagikan waritsan memiliki rentang waktu yang lebih leluasa untuk menunaikannya. Meski begitu, perhatian untuk segera menyelesaikan ketiga perkara tersebut secepat mungkin tetap dianjurkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan keberadaan almarhum di alam Barzakh yang dihawatirkan akan menanggung "beban moral" akibat sikap ahli waritsnya yang berlama-lama untuk menyelesaikan perkara yang semestinya disegerakan apalagi sampai terjadi ketegangan atau bahkan perpecahan akibat harta yang ditinggalkannya. Mari kita cermati Sabda Rasulullah saw. berikut :

إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ

 
"Sesungguhnya mayit akan disiksa karena tangisan keluarganya" (Hr. Muslim)

Mafhum sederhana dari hadits di atas, jika karena tangisan ( yang tidak sewajarnya ) saja dari keluarga atas kematian seseorang bermasalah bagi nasib almarhum di Alam Qubur, apalagi kalau terus-terusan bersitegang gara-gara waritsan yang salah satunya karena tidak juga dibagikan atau diselesaikan sesuai dengan haknya masing-masing.

Umumnya kaum muslimin di negara kita selalu mendahulukan rasa canggung, tidak enak dan lain sebagainya ketika dalam waktu yang tidak lama dari kematian almarhum sudah menyinggung-nyinggung waritsan. Padahal justeru dengan anggapan dan perasaan tersebut, masalah besar muncul di kemudian hari akibat berbagai perubahan yang terjadi baik pada ahli warits maupun harta waritsannya. Bahkan tidak jarang saya temukan persoalan rumit dalam pembagian waritsan akibat penangguhan yang memakan waktu cukup lama. Untuk itu, mari kta sama-sama perhatikan 2 ayat berikut yang merupakan rangkaian dari penjelasan tentang waritsan dalam al-Quran surat an-Nisa ayat 9-10 :

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

Wallau a'lam bish-shawab.

Ditulis Oleh :

Ust. Dadang Khaeruddin
Konsultan Warits dan Pernikahan